SUAMI PENGANGGURAN DAN PEMALAS/ISTRI BEKERJA
suami pengangguran dan pemalas/suami malas bekerja.
Istri yang Menyalip Suami
Seorang perempuan mengeluh pada saya. Ia frustrasi pada suaminya malas. Kenapa? Suaminya tak pandai cari uang. Dia ingin hidup yang lebih dari sekadar cukup makan. Suaminya tak bisa memberikan hal itu.
Saya tanya, kenapa kamu pikir harus suami yang memberi? Bagi saya, urusan nafkah itu urusan berdua, tanggung jawab berdua. Kalau suami bisa mencari nafkah lebih dari cukup, tak masalah kalau istri tidak bekerja. Kalau tidak, istri jangan mengeluh, bekerjalah bersama suami. Cari solusi berdua.
Banyak perempuan yang berani menyalip suaminya. Kalau lambat, jangan buntuti, salip saja. Jangan ikuti mitos bahwa laki-laki itu harus jadi pemimpin. Masa iya orang harus jadi pemimpin hanya karena ia punya zakar. Yang jadi pemimpin itu yang mampu. Yang tidak, harus jadi pengikut. Salip saja.
Emak saya dulu begitu. Boleh dibilang dalam soal kreativitas, Emak adalah pemimpin di rumah kami. Kalau mengandalkan Ayah, kami akan tumbuh jadi anak buruh kebun kelapa. Emaklah yang mengajak Ayah untuk membuka lahan, membuat kebun. Itu pun belum lengkap. Kalau berhenti di situ, kami hanya jadi anak petani kelapa. Uang yang didapat dari kebun, tak akan bisa membiayai sekolah kami.
Ketika diajak membangun kebun, Ayah sanggup. Ia bekerja keras membangun kebun. Tapi ia tak sanggup lebih dari itu. Ayah tak mungkin bisa berdagang. Pada titik itu Emak menyalip. Ia berdagang. Ayah hanya membantu seperlunya. Ia tak pernah menghalangi.
Jadi, kalau suamimu malas, tak kreatif, jangan mengeluh. Kamu yang harus bergerak. Jangan mengeluh, tapi tak mau bergerak juga. Jangan berharap suamimu tiba-tiba berubah jadi ksatria. Sadarlah, itu tak akan terjadi.
Kalau suamimu malas atau tidak kreatif, kamu juga tidak mau bergerak, maka terimalah nasibmu hidup melarat. Kamu boleh mengeluh dan menyalahkan suamimu, tapi sadarilah bahwa itu tidak mengubah apapun. Yang mengubah hidupmu adalah kemauanmu untuk berjuang.
Kalau suami menghalangi, bagaimana? Itulah saatnya kamu meninggalkan dia. Bahkan kalau dia tidak menghalangi, namun tak juga mendukung, sudah cukup alasan untuk meninggalkan dia. Jangan mau hidup seranjang dengan bangkai bernyawa.
Takut? Semua juga takut. Tapi sudah ada ribuan perempuan yang membuktikan bahwa meninggalkan laki-laki semacam itu membuat mereka lepas dari neraka dunia.
Istri bekerja suami dirumah
Risiko adalah soal kemungkinan terjadinya sesuatu yang buruk atau tidak kita senangi. Risiko bukan sebuah kepastian. Jadi, kalau kita bicara soal kemungkinan terjadinya sesuatu yang buruk, namun hal buruk itu tidak terjadi, bukan berarti kemungkinan tadi omong kosong.
Misalnya, Anda menyeberang tidak di jembatan penyeberangan, di jalan yang sangat ramai. Ada risiko Anda ditabrak kendaraan. Tapi Anda bisa menyeberang dengan selamat. Namun itu tidak berarti risiko tadi nonsens.
Istri yang tidak bekerja punya risiko terlantar atau melarat, kalau suaminya meninggal, atau pergi meninggalkannya. Tentu saja ada banyak istri yang tidak bekerja yang baik-baik saja, suaminya tidak mati, tidak pula meninggalkannya. Tapi sekali lagi, tidak berarti risiko itu tidak ada. Faktanya, ada begitu banyak kasus istri terlantar karena suaminya meninggal atau pergi meninggalkannya.
Ketika saya menulis soal perempuan sebaiknya bekerja karena adanya risiko tadi, ada orang komentar,"Dulu istri saya memilih untuk berhenti bekerja saat kami menikah, dan hidup kami ternyata baik-baik saja." Tidak ada yang salah dengan pernyataan itu. Namun, sekali lagi, pernyataan atau kenyataan itu tidak menghapus fakta adanya risiko tadi. Tidak juga menghapus fakta adanya banyak kasus istri terlantar tadi.
Saat berkenalan dengan calon istri dulu, dia sedang bekerja di Jakarta. Saya baru dalam persiapaj untuk pergi kuliah ke Jepang. Kami bersepakat untuk menikah. Saya tawarkan kepada calon istri saya, apakah dia mau terus bekerja atau tidak. Kalau mau terus bekerja bagaimana? Sementara, jarak jauh dulu. Sesekali saya pulang, atau dia yang datang ke Jepang.
Mungkinkah itu dilakukan? Sangat mungkin. Ada banyak orang yang melakukannya. Tentu saja pilihan itu ada konsekuensinya, yaitu jarang bertemu. Tapi itu pilihan yang biasa diambil orang. Menikah tapi tidak kumpul bukan hal yang aneh. Banyak yang melakukannya, karena berbagai alasan.
Calon istri saya waktu itu memilih untuk berhenti bekerja dan ikut saya ke Jepang. Sejak itu saya selalu terpikir soal risiko tadi. Bagaimana kalau saya mati, sedangkan istri saya tidak bekerja? Ada risiko, kita harus siapkan mitigasi. Saya bayar polis asuransi jiwa dan asuransi pendidikan untuk anak-anak saya. Tapi saya pun sadar bahwa nilai pertanggungannya jauh dari cukup.
Perlahan saya menabung, sampai suatu saat saya merasa aman. Kalau saya mati, uang dan aset saya cukup untuk membiayai hidup keluarga saya sampai anak-anak saya selesai kuliah. Itu tercapai saat saya berusia sekitar 45 tahun, 18 tahun setelah pernikahan saya. Artinya, selama 18 tahun istri saya berada dalam risiko tadi.
Overthinking? Sama sekali bukan. Risiko itu nyata adanya. Ada kenalan saya yang suaminya pergi, kawin dengan perempuan lain, meninggalkan dia dengan 1 anak. Bertahun-tahun perempuan itu harus berjualan ala kadarnya untuk membiayai hidup. Ketika anaknya hendak kuliah, tak ada biaya. Mantan suaminya tak mau membiayai. Akhirnya anaknya tak kuliah. Sedihnya, perempuan tadi depresi. Perlakuannya pada anaknya membuat anaknya juga depresi.
Ada perempuan lain yang juga saya kenal. Dia tadinya bekerja. Tapi suaminya menganggur. Tidak mau bekerja, tidak betah dengan pekerjaan apapun. Perempuan ini harus jadi kepala rumah tangga. Suatu saat ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Alasannya memang konyol. Dia berharap suaminya tergerak untuk giat bekerja kalau kepepet. Kenyataannya tidak. Suaminya tak berubah. Akhirnya dia memutuskan untuk bercerai. Ia menjual rumah untuk menyambung hidup, tinggal di rumah kontrakan dan berjualan ala kadarnya untuk membiayai sekolah anaknya. Mau kembali bekerja sudah tidak mudah, karena faktor usia.
Istri yang tidak bekerja harus sadar bahwa risiko itu ada. Buatlah pilihan, sadari risikonya. Pikiran logisnya, lakukan mitigasi risiko. Bagaimana caranya?
Satu, belilah polis asuransi. Pertanggungannya mungkin tidak cukup benar, tapi setidaknya bisa membantu saat keadaan darurat. Teman saya yang suaminya mati kecelakaan, terselamatkan oleh adanya asuransi.
Kedua, lakukan hal-hal yang membuat Anda punya penghasilan. Tidak harus kerja tetap. Anda bisa memberi les, jualan kecilan, menjahit, atau apa saja yang menghasilkan uang. Bekerja memang tidak harus keluar rumah. Ada banyak perempuan yang bekerja dari rumah dan mendapat penghasilan. Ini sangat dianjurkan.
Ketiga, kelola uang yang diberikan suami pemalas dengan baik. Arahkan jadi investasi yang memberikan pemasukan pasif. Misalnya, dengan membeli atau membangun kamar kos. Atau, membuka warung.
Yang tidak diharapkan, duduk manis jadi nyonya setelah menikah, hura-hura menghamburkan uang suami. Ingat, suatu saat itu bisa berakhir.
Ditulis oleh kang h idea
Komentar
Posting Komentar